Selasa, 12 April 2011

SARWO EDHIE WIBOWO, SANG JENDRAL KSATRIA

Sebagian dari kita hanya mengetahui Sarwo Edhi Wibowo sebagai mertua dari Presiden kita. Ibu Ani, istri Presiden, adalah putri dari beliau. Perannya dalam sejarah bangsa sebagai salah satu tokoh yang memiliki peran krusial dalam penumpasan G30SPKI. Selain itu juga sebagai pendiri awal Orde baru. Akan tetapi selepas Soeharto menjadi presiden, perannya perlahan mulai berkurang. Posisinya dipindah ke luar Jawa. Kemudian bahkan ke Papua. Dan akhirnya menjadi gubernur AKABRI dan menjadi Jendral tanpa pasukan. Selepas itu perjalanan hidupnya mulai jauh dari dunia militer dengan menjadi Duta Besar. Dan sempat menjadi anggota DPR tetapi mengundurkan diri lebih cepat.
Dunia Militer sulit dilepaskan dari dunia politik. Apalagi, di Indonesia yang mempunyai sejarah panjang tentang keterlibatan militer dalam penentuan arah politik kekuasaan.Menjelang pertengahan tahun 1960-an, posisi PKI semakin kuat karena salah satu faktornya adalah adanya perlindungan dari Soekarno. Presiden Soekarno sendiri memakai PKI untuk mengimbangi kekuatan TNI-AD. Bulan Februari 1965, PKI melontarkan gagasan mengenai perlunya dibentuk Angkatan Kelima, milisi rakyat yang dipersenjatai dan terdiri dari buruh dan tani. Dan ini mencapai puncaknya ketika munculnya desas desus adanya sekelompok jenderal TNI-AD, yang tergabung dalam Dewan Jenderal, akan mengadakan perebutan kekuasaan negara dan menghancurkan PKI. Menjelang akhir September 1965, agitasi politik mengecam TNI-AD terus berjalan, dan semakin meningkat. Bahkan Soekarno sendiri dalam rapat umum pada tanggal 29 September 1965, mengatakan bahwa ada beberapa jenderal yang dulunya setia tetapi sekarang telah menjadi pelindung unsur-unsur kontra revolusioner dan untuk itu mereka semua harus dihancurkan.
Dini hari, 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September menculik dan membunuh sejumlah jenderal TNI-AD. Para jenderal itu diculik dari rumahnya dengan dalih dipanggil oleh Presiden Soekarno agar segera ke Istana. Hanya satu orang yang lolos,yakni Menko Hankam KSAB Jenderal A.H. Nasution, meskipun demikian putrinya, Ade Irma Suryani dan ajudannya, yang disangka Jenderal A.H. Nasution, Lettu Piere A.Tendean, ikut menjadi korban.
Satu jam setelah kejadian tersebut pada pukul 05.00 WIB 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie dibangunkan dari tidurrnya karena kedatangan tamu Kapten Subardi, ajudan Men/Pangad Achmad Yani, menghadap dan meminta agar Sarwo Edhie berangkat kerumah Achmad Yani karena sejam sebelumnya atasannya telah diculik oleh sejumlah anggota Cakrabirawa setelah terlebih dahulu ditembak. Dan Yon I RPKAD, Mayor C.I.Santosa langsung pergi ke Senayan dan menarik pasukannya yang sedang latihan untuk menyambut HUT ABRI, 5 Oktober 1965, agar segera kembali ke Cijantung. Memang ada masalah saat itu karena sebagian besar pasukan RPKAD sedang bertugas dalam konfrontasi dengan Malaysia di perbatasan.
Pada pukul 07.00 WIB, Sarwo Edhie dan sejumlah perwira berkumpul untuk mendengarkan siaran berita RRI yang mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.Sarwo Edhie sendiri saat itu mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi kudeta, dan menduga Soekarno telah disingkirkan mengingat tidak disebut-sebut dalam dewan tersebut. Meskipun demikian, Sarwo Edhie tidak mengetahui secara pasti siapa yang berada di balik pembentukan dewan baru. Akhirnya, Sarwo Edhie memerintahkan delapan orang perwiranya, dengan pakaian preman, untuk menghubungi markas-markas yang dianggap paling penting seperti Staf Umum AD, Cakrabirawa, Kodam Jaya dan Kostrad.
Pasukan RPKAD yang ditarik dari Senayan kemudian dikumpulkan di Lapangan Merah. C.I. Santosa memerintahkan kepada mereka untuk tidak bergerak terlebih dahulu sebelum ada perintah dari Sarwo Edhie. Jika ada yang melanggar, maka C.I. Santosa sendiri yang akan menembaknya di tempat. Beberapa saat kemudian Sarwo Edhie datang dan menjelaskan kepada pasukannya mengenai penculikan para jenderal TNI-AD. Menurutnya, ini adalah akibat fitnah dari salah satu partai politik. Sementara itu kedudukan baik lawan maupun kawan tampaknya belum diketahui secara jelas. Selanjutnya Sarwo Edhie mengadakan pembicaraan dengan Soeharto mengenai kemungkinan penyerangan ke RRI dan Kantor Telekomunikasi (Telkom)—yang diduduki oleh komplotan Untung. Kemudian Sarwo Edhie kembali ke Cijantung dan disana, kira-kira pukul 13.30 WIB Sarwo Edhie memerintahkan prajurit RPKAD untuk menyetop truk untuk mengangkut pasukan RPKAD (Kompi Urip, Kayak, Tanjung,Sungkaryo, Muhadi, Sembiring, Edi Sudrajat dan Ramelan). Pada sore hari, Sarwo Edhie mendapat perintah untuk menguasai RRI dan Telkom sebelum pukul tujuh malam. Sementara itu, Batalyon 530/Brawijaya, yang diperalat Untung untuk menjaga Istana, telah kembali ke Kostrad atas pendekatan Soeharto, meskipun satu kompi telah berada di Halim. Kemudian, Batalyon 545/Diponogoro menjelang pukul 18.00 WIB meninggalkan istana menuju ke Halim, namun ada dua kompi akhirnya memisahkan diri dan selanjutnya bergabung dengan Kostrad. Menjelang magrib, Kompi Kapten Heru menyerang Telkom, sedangkan Kompi Kapten Urip menyerbu RRI. Ternyata kedua kompi tersebut, tidak menghadapi perlawanan berarti. Anak buah Untung nyatanya telah melarikan diri. Operasi ini berjalan lebih singkat dari waktu yang diperkirakan dan ternyata juga tidak ada sebutir peluru pun yang harus dilepaskan. Di tengah malam ketika Soeharto sedang memikirkan langkah berikutnya, Sarwo Edhie tiba-tiba muncul dan menanyakan kepastian pelaksanan menguasai Halim. Bersamaan dengan itu, Markas Kostrad dipindahkan ke Senayan sehubungan adanya informasi kalau AURI akan melakukan pemboman. Dua kompi Para Pomad di bawah Letkol Norman Sasono yang mengamankan Kostrad dan keluarga Pangkostrad sejak pagi hari, mengawal kepindahan pimpinan Kostrad ke Senayan.
Disana sudah ada sejumlah kompi dari Batalyon 328 Kujang/Siliwangi yang berjaga-jaga.19Dan Yon I RPKAD, Mayor C.I. Santosa, sebagai komandan penyergap, segera mengatur strategi. Batalyon 328 Kujang dan pasukan tank diperintahkan lalu-lalang dijalan utama untuk menarik perhatian. Penyerangan itu sendiri dilakukan lewat Klender karena jika melalui Bogor di sana ada beberapa markas militer yang belum ketahuan sikap kesatuannya terhadap Gerakan 30 September. Di Klender ada jalan sejajar menuju Halim yang biasanya dipakai latihan militer oleh RPKAD. Mayor C.I. Santosa memerintahkan pasukannya untuk melakukan manuver menghambat kemungkinan digunakannya pesawat-pesawat terbang oleh pihak musuh.
Akhirnya pertempuran antara RPKAD dan pendukung Gerakan 30 September, tidak dapat dihindari lagi. Di saat pertempuran masih berlangsung dan pasukan Untung mulai terdesak, Sarwo Edhie ingin menemui Presiden Soekarno. Keinginan ini menimbulkan dilema bagi C.I.Santosa karena di satu pihak, dia harus memimpin pertempuran, namun di pihak lain, dia harus juga menjaga keselamatan atasannya. Ketika panser yang dinaiki Sarwo Edhie baru saja bergerak beberapa menit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan datang Jeep Toyota, mengibarkan bendera putih, dengan penumpangnya Komodor Dewanto. Kemudian terjadi pembicaraan yang intinya Komodor Dewanto menginginkan adanya gencatan senjata, sedangkan Sarwo Edhie mengatakan bahwa pasukan hanya tunduk pada pimpinan tertinggi. Akhirnya Sarwo Edhie setuju untuk memenuhi permintaan Dewanto agar menemui Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang. Melalui Sri Mulyono Herlambang, Sarwo Edhie mendapat penjelasan bahwa ada panggilan dari Presiden Soekarno. Kemudian, Sarwo Edhie, Dewanto, Sri Mulyono Herlambang dan dua pilot,dengan memakai helikopter, menuju ke istana menemui Presiden Soekarno yang telah meninggalkan Halim pada malam hari. Setelah bertemu, Sarwo Edhie mendapat penjelasan dari Soekarno bahwa saat ini Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata berada di tangannya. Akhirnya, Sarwo Edhie mendapat tembusan surat perintah dari Presiden Soekarno, sedangkan aslinya diberikan kepada Sri Mulyono Herlambang untuk diserahkan kepada Supardjo. Kolonel Sarwo Edhie yang kecewa dengan perkataan Soekarno yang menganggap ringan nasib para jenderal tersebut, kembali ke Halim. Setibanya di sana kegiatan tembak-menembak telah berhenti. Sebagian Batalyon 454 menyerahkan diri, dan sisanya lari dari Halim.
Tanggal 3 Oktober 1965 siang hari, pasukan RPKAD mulai mencari jenazah jenderal TNI-AD. Pencarian ini dibantu oleh seorang polisi, Sukitman yang pernah ikut ditawan tetapi dapat meloloskan diri dari pasukan Gerakan 30 September. Akhirnya diketemukan markas komplotan gerakan, tempat yang digunakan untuk membunuh para jenderal itu, di sekitar Lubang Buaya, pinggiran Pangkalan Udara Halim. Demikian juga dengan sumur kecil yang dipakai untuk mengubur para jenderal. Mengingat sudah larut malam, upacara pencarian tersebut ditunda. Besoknya, di bawah komando C.I. Santosa, operasi pencarian dan penggallian terus dilanjutkan, dengan mendapat bantuan dari Kesatuan Inti Para Amphibi dari KKO AL.
Sementara itu tuntutan agar PKI dilarang, terus mengalir dari berbagai pelosok daerah. Mendengar keadaan seperti ini, Soeharto di Jakarta memutuskan segera mengambil keputusan untuk mengirim RPKAD ke Jawa Tengah. Tanggal 17 Oktober 1965, RPKAD di bawah Komando C.I. Santosa bergerak menuju Semarang. Keesokan harinya, mereka sampai di Semarang dan langsung melakukan pameran kekuatan. Yon III RPKAD di bawah Komandan Mayor Kosasih dibebani tugas, dengan nama Operasi Muria, di daerah Demak – Purwodadi. Daerah Banyumas menjadi tanggung jawab KKO di bawah komando tanggung jawab KKO dibawah komando Kapten Sukarno, sedangkan Yon 431 PARA menempati posisi di daerah Pekalongan. Tanggal 19 Oktober 1965, kelompok komando RPKAD di bawah Sarwo Edhie dengan kawalan pasukan Letnan Dua Sintong Pandjaitan tiba di Semarang. Selanjutnya, dengan menumpang kereta api, telah tiba Yon Kavaleri di bawah pimpinan Mayor Kaveleri Sunarjo.
Pada hari yang sama, pasukan RPKAD mulai bergerak menuju rumah dan gedung yang diduga menjadi sarang pendukung Gerakan 30 September. Dalam gebrakan pertama berhasil ditahan sekitar 1.050 orang yang dicurigai dan berbagai barang bukti juga disita. Adanya gerakan RPKAD ini mendorong kaum anti-komunis mulai juga mengadakan perusakan dan pembakaran terhadap gedung PKI, Gerwani, dan pabrik rokok yang pemiliknya mendukung Gerakan 30 September. Pada tanggal 21 Oktober RPKAD menuju Magelang. Tugas RPKAD di Semarang menjadi tanggung jawab Mayor Subechi, Wa Dan Yon III dengan kekuatan Ki Urip, Ki Ramelan dan Ki Dakso. Sedangkan pasukan yang bergerak ke Magelang kemudian diperkuat oleh pasukan Ki Tejo dari Yon II RPKAD Magelang. Sebagaimana sebelumnya, kembali RPKAD melakukan pameran kekuatan bersenjata. Seperti di Semarang masyarakat yang anti-komunis memakai kesempatan ini membakar milik PKI, Baperki dan bahkan rumah Walikota Argo Ismojo yang komunis turut menjadi sasaran.
Ada informasi Kodim Boyolali sedang dikepung oleh ribuan Pemuda Rakyat yang bersenjatakan bambu runcing. Pada tanggal 22 Oktober, pukul 00.00 WIB, RPKAD langsung ke Boyolali. Satu kompi ditinggalkan di Yogyakarta untuk mengikuti upacara pemakaman Kolonel Katamso (Dan Rem 072) dan Letkol Sugijono (Kas Rem 072) yang menjadi korban Gerakan 30 September. Pukul 05.30 WIB, Satu Yon Panser dan Ki Kajat bergerak menuju Boyolali. Sisa-sisa pasukan bergerak ke Surakarta dan kemudian mengadakan pameran kekuatan. Pasukan RPKAD bergerak menuju ke stasiun Balapan untuk membubarkan pemogokan. Selanjutnya Sarwo Edhie mengatakan agar mereka jangan terpengaruh oleh Gerakan 30 September dan diminta untuk tidak usah ragu-ragu membantu ABRI menghancurkan gerakan tersebut sampai ke antek-anteknya. Meskipun demikian, dengan gerak cepat pasukannya bukan berarti Sarwo Edhie dapat menanamkan kewibawaannya ke seluruh daerah dan mampu menyapu bersih desa desa untuk menangkap para aktivis PKI. Sarwo Edhie sadar dengan pasukan yang ada tak mungkin bisa mencapai tujuan. Untuk itu, Sarwo Edhie minta bantuan tambahan dari Jakarta. Namun permintaan ditolak karena kebanyakan pasukan tentara masih berada diluar Jawa.
Lagi pula kepulangan Brigade Infanteri 4/Diponogoro dari wilayah perbatasan, pimpinan Kolonel Jasir Hadibroto, lebih meringankan beban yang dipikul oleh RPKAD. Brigif 4 ini berhasil menangkap dan membunuh D.N. Aidit dan Ir. Surachman. Selanjutnya, Brigif ini juga turut serta membantu RPKAD dalam melancarkan Operasi Merapi yang pelaksanaannya di bawah komando C.I. Santosa, yang akhirnya berhasil menghabisi Kolonel Sahirman dan kawan kawan. Pertengahan bulan Nomber 1965, para pemimpin AD di Jawa Tengah mulai kuatir atas pembunuhan massal yang berlangsung dan cenderung tidak terkendali. Tujuan Sarwo Edhie ke Jawa Tengah sendiri sebetulnya bukan untuk mencari kemenangan, tetapi mencoba membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Gestapu/PKI dan menunjukkan siapa sebenarnya yang berada di balik peristiwa Gerakan 30 September. Sarwo Edhie mengatakan lebih lanjut bahwa pasukannya bertindak sejalan dengan permintaan Presiden yang meminta fakta sebanyak mungkin tentang keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September. Setelah menghancurkan PKI di Jawa Tengah dengan Kompi Benhur-nya dikirim ke Bali untuk memulihkan keamanan atas situasi pembunuhan massal yang semakin tidak terkendali. Tugas Sarwo Edhie di sana, sebagaimana dikatakannya, adalah untuk mengekang mereka terutama Pemuda PNI, agar tidak melakukan perbuatan yang kelewat batas. Kehadiran RPKAD tetap diwarnai dengan pembunuhan, tetapi sekarang di bawah koordinasi dan hanya aktivis-aktivis PKInya saja yang dieksekusi.
Kepopuleran Sarwo Edhie atas keberhasilannya menumpas PKI di Jawa Tengah menyebabkan dia diundang untuk menyemarakkan acara rapat umum yang diadakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di halaman FK UI pada tanggal 10 Januari 1966. Sarwo Edhie disodori konsep awal Tritura yang berisi; Bubarkan PKI, Susun Kembali Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga Sangan Pangan. Dalam rapat umum tersebut Sarwo Edhi diminta berbicara. Setelah memperkenalkan staf perwiranya, Mayor C.I. Santosa dan Mayor Gunawan Wibisono,dia mengatakan bahwa kehormatan besar baginya selaku komandan pasukan dapat berbicara di hadapan massa KAMI. Untuk itu, Sarwo Edhie dan Kemal Idris, mendorong mahasiswa untuk terus bergerak sebagai salah satu cara menekan Soekarno memenuhi harapan mereka.
Men/Pangad Soeharto berdasarkan Surat Perintah Presiden Soekarno, Jakarta 11 Maret 1966, yang kemudian dikenal dengan Supersemar, mengeluarkan surat perintah mengenai pembubaran PKI beserta ormas bawahannya. Untuk menyambut pembubaran ini, Sarwo Edhie memprakarsai diadakan pameran kekuatan. Ketika dia dengan pasukannya beserta tank-tank siap bergerak, dia mendapat perintah membatalkan pawai tersebut dan pasukannya diminta untuk menempati pos-pos tertentu di Ibukota Jakarta. Situasi dilema ini menimpa diri Sarwo Edhie. Kalau dilanggar berarti mempertaruhkan pangkat dan jabatannya. Sebaliknya kalau dibatalkan akan menurunkan semangat Orde Baru dan juga memalukan dirinya, pada akhirnya dia menolak perintah tersebut. Peserta pawai terdiri dari RPKAD, Brigade Para Kostrad, Yonif 314 dan 315 Siliwangi, Batalyon Raider 328 Siliwangi, Yonif 527 Brawijaya, Brigade Kaveleri, Satuan Penerbang TNI-AD dan ribuan pelajar-mahasiswa. Pawai bergerak dari lapangan Parkir Timur Senayan. Pawai kemenangan itu berlangsung semarak.
Akhirnya, bulan Maret 1967, diselenggarakan sidang MPRS yang memutuskan mengenai larangan terhadap Soekarno mengambil bagian dalam kegiatan politik sampai Pemilihan Umum. Untuk memberlakukan keputusan ini maka mandat MPRS dan semua kekuasaan Soekarno dicabut sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Kemudian MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Penjabat Presiden RI. Meskipun Soekarno sudah dicopot dari kekuasaannya, Sarwo Edhie, Kemal Idris dan HR Dharsono masih bersikeras menghendaki agar Soekarno diadili. Untuk menghindari situasi yang lebih buruk lagi,khususnya pertikaian antara pro dan anti-Soekarno, maka dalam melangkah, dilakukan mutasi terhadap faksi-faksi yang berseteru. Tidak lama setelah Soekarno diturunkan dari kekuasaanya, pada bulan Juni 1967, Sarwo Edhie pun dipindah tugaskan menjadi Panglima Kodam II/ Bukit Barisan.
Apapun alasan di balik pengunduran dirinya, Sarwo Edhie adalah figur yang sudah terlanjur diselubungi mitos tertentu, dan bahkan juga diselimuti tragedi. Dia tidak pernah diperhitungkan orang sebelum peristiwa G-30-S/PKI, tiba-tiba namanya mencuat karena keberhasilannya menampilkan dirinya sebagai Komandan RPKAD yang maupun menyerbu Halim dan menumpas PKI di Jawa Tengah. Dia berada dalam kedudukan strategis dan momentum yang tepat, tidak menyia-nyiakan kesempatan sejarah yang diberikan kepadanya. Untuk itu dia memang berhasil dan mencatatkan namanya dalam Sejarah Indonesia. Tentu saja berbagai teka-teki dan informasi yang belum terungkap selama ini dari peranannya dalam pembentukan Orde Baru, bisa jadi akan terungkap secara tuntas. Namun harapan tersebut, tinggal menjadi harapan. Sarwo Edhie, tanggal 9 November 1989 dini hari, telah menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dia meninggalkan seorang istri, Sunarti Sri Hadiyah, lima putri dan dua putra, serta delapan cucu. Dia dimakamkan di tempat kelahirannya, di desa Ngupasan Puworejo, tepat bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 1989.