Tak ada yang akan mengira rumah berdinding papan di pinggir
jalan itu pernah jadi tempat paling nyaman menghabiskan masa kecil. Sejak usia
dua atau tiga tahun, rumah itu jadi tempat mengasah langkah langkah pertama didunia.
Sederhana saja, rumahnya bercat hijau, entah dari awalnya dan seingatku memang
selalu seperti itu. Didepan agak ke samping kanan, sebuah pohon mangga, yang
sampai dewasa aku berusaha memeluk batangnya, kedua tanganku tak pernah sampai karena
besarnya. Disebelah kanan rumah, tepat dibawah pohon mangga, ada sebuah bengkel
las karbit milik seorang lelaki tua hebat yang sekarang sudah tiada. Mungkin
akan jadi bahan cerita di lain waktu.
Rumah itu , Cuma punya satu tetangga, ya memang satu
satunya, karena depan berbatasan dengan jalan raya, sementara belakang dan
sekitarnya merupakan sawah. Tetangga rumah adalah sebuah keluarga dari tanah
Sunda, punya usaha foto pertama dan satu satunya bagiku. Tempat itu memang jadi
tempat keluarga perantauan, seperti keluargaku dan keluarga mereka. Satu yang
ku ingat, sejak kecil sampai sekarang, tempat itu adalah tempat paling nyaman
dengan segala kesederhanaannya.
Mudah untuk mendefinisikan seperti apa tingkah polah ku saat
itu. Kecil dan bandel. Mungkin banyak yang terlupa, tapi katanya dulu sangatlah
mudah membuatku menangis. Wajar, saat itu teman bermainku adalah mereka yang
lebih tua, dan jarang ada anak kecil yang seumuran. Nah depan jalan raya, ad tanggul saluran
irigasi. Pintu airnya kami sebut pleret.
Tempat untuk mandi mandi dan berenang di saluran air, dengan sedikit
aksi, bisa dilompati dari atas. Tidak dalam cuma 2 meter, tapi airnya tak
pernah lebih dari 1,5 meter. Cukuplah bagi anak anak usia SD untuk menghabiskan
waktu.
Namanya anak kecil, tidak lengkap rasanya kalau tidak bercerita tentang main, main dan main. Permainan favorit waktu itu bermacam macam. Bergantung musim istilahnya, ada gambar, bungkus rokok, dan berbagai mainan yang aneh, jika dibanding sekarang. Satu permainan yang paling menghebohkan adalah layangan. Musim layangan adalah musim dimana kita bisa berpanas ria, dengan sawah yang berlumpur dan sesekali menengok ke arah matahari, mencari angin. Ada lagi sebuah tempat yang sayang kalau tidak diceritakan. Sebuah gedung sekolah SMP yang sangat luas. Mungkin pagi hari itu bukan milik kami, tapi ingat saja, mulai jam 4 sampai 5.30, itu daerah teritorial kami. Permaian favorit adalah sepakbola, sebanding dengan petak umpet di kompleks sekolah yang luas. Yang sial adalah jika kami harus berjaga di depan tiang bendera, sementara yang lain bersembunyi di sekeliling sekolah yang begitu banyak spot spot asyik untuk uji nyali. Lebih sial lagi, kami sering iseng mengusili siapapun yang jaga, dengan cara memanjat pagar belakang sekolah dan pulang ke rumah sementara si anak yang ketiban sial, terus memutari kompleks sekolah mencari cari kami, sendirian.