Aneh juga melihat rakyat zaman
sekarang merindukan pemimpin yang dahulu mereka paksa untuk turun setelah 32
tahun berkuasa. Mungkin yang namanya cinta baru terasa jika kehilangan juga
berlaku pada rakyak kecil alias wong cilik. Tengok saja, dari sekian banyak
stiker Pak Harto yang tertempel, pasti lebih banyak terdapat pada angkutan tua,
mulai dari mobil tua, pick up tua, angkot tua dan pokoknya yang tua tua. Bagian
belakang dari kendaraan itu pasti terdapat wajah familiar dengan senyum khas,
mengangkat jempol dan ada tulisan “ PIYE KABARE? (ISIH) PENAK JAMANKU TO?”. Ah
romantisme masa lalu……
Lalu sebenarnya apa sih sebenarnya maksud dari
munculnya stiker stiker tersebut? Dikutip dari http://www.solopos.com/2013/05/21/gagasan-rindu-kepada-pak-harto-408471
tulisan dari Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya dan Dosen Ilmu Sejarah
Universitas Sebelas Maret, “Menurut Sigmund Freud, seorang ahli jiwa
awal abad ke-20, fenomena seperti itu secara kejiwaan adalah sebuah id di antara ego dan superego. Orang melakukan sebuah tindakan
karena di alam bawah sadar menginginkan kembalinya keromantisan yang
menyebabkan seseorang (masyarakat) merasa happy.
Fenomena maraknya stiker bergambar Pak Harto
tersebut bagi sebagian masyarakat menjadi simbol protes sosial. Masyarakat
protes dengan membuat komparasi antarperiode kekuasaan yang notabene belum
tentu kekuasaan pada masa lalu itu juga enak. Tetapi, simbol-simbol protes itu
semakin mendapat tempat di hati masyarakat tatkala logika-logika kondisi
berbangsa dan bernegara secara kontemporer semakin resisten. Dari hari ke hari
resistensi sosial terhadap politik semakin jelas dengan semakin banyaknya warga
yang memilih menjadi bagian dari golongan putih (golput)—tak menggunakan hak
pilih–pada setiap pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Ketika di setiap pemilihan gubernur atau
pilgub (mungkin termasuk Pilgub Jawa Tengah) angka golputnya tinggi, sudah
pasti ada resistensi yang tinggi dan hal ini tidak dapat dianggap sebuah masa
yang enak jika dibandingkan pada zaman Pak Harto dulu. Konstruksi pemikiran
masyarakat yang gandrung Pak Harto dengan memasang gambar berwujud stiker
tersebut jelas logika yang berbalik dengan suatu keadaan di era sekarang.
Pada masa Pak Harto soal pilgub tidak
serumit saat ini. Pilgub zaman Pak Harto dulu amat sederhana, tidak seperti
sekarang ketika setiap pemilihan kepala daerah penuh dengan trik, intrik dan
kepalsuan. Hasil pemilihan kepala daerah saat sekarang di samping menghabiskan
energi juga kemudian malah melahirkan raja-raja kecil yang merasa lebih
berkuasa daripada presiden. Mungkin tingginya angka golput di setiap pilgub di
seluruh provinsi di Indonesia menjadi logika pembenar bahwa zaman Pak Harto
dulu lebih enak.
Bagi masayarakat yang gandrung masa Pak
Harto juga merekonstruksi fakta bahwa tata hubungan bermasyarakat dan berbangsa
lebih enak dulu daripada sekarang. Dalam kurun waktu 20 tahun pemerintahan Pak
Harto (1978-1998), jarang terjadi keributan antarsuku, antargeng, antarpreman
apalagi antarkampung, tawuran pelajar, pembakaran masjid, sampai soal teroris.
Premanisme, anarkisme, brutalisme pada zaman
Pak Harto jelas ”digebug” (istilah yang dipakai Pak Harto dulu) dan diproses
sekalipun dilakukan secara tertutup. Sedangkan tindakan vigilante (pembangkangan sipil) pasti ditangani
secara represif. Pada masa Pak Harto juga ada korupsi. Tetapi, mungkin dipaksa
bungkam atau entah sebab yang lain. Yang jelas, korupsi tidak vulgar, tidak
terjadi secara masif dan bergerombolan seperti saat ini.
Zaman sekarang justru menjadi lebih enak
bagi koruptor karena sekalipun tertangkap tangan masih bisa dengan enak
tersenyum dan melambaikan tangan. Vonis pidananya amat ringan, bahkan dengan
berbagai dalil koruptor bisa bebas atau setidaknya tidak tidur di penjara.
Banyak kaum muda seusia Gayus H Tambunan yang lihai bermain jurus-jurus
korupsi. Ukuran enak di zaman Pak Harto tentu soal ekonomi dan kebutuhan
sandang. Harga dan bahan-bahan kebutuhan pokok relatif aman, terjamin dan
terkendali.
Meskipun penghasilan rata-rata pada masa Pak
Harto masih kecil, namun dibandingkan dengan harga-harga masih terjangkau.
Kondisi itu terbalik dengan sekarang. Meskipun gaji dan penghasilan rata-rata
sudah naik, ternyata lebih besar lagi kenaikan harga-harga sehingga daya
beli rupiah terhadap kebutuhan pokok menjadi lemah.
Pada zaman Pak Harto posisi Indonesia dalam
soal hubungan dalam kawasan regional maupun internasional disegani kawan dan
lawan. Indonesia saat itu memiliki politisi dan negarawan ulung yang dikenang
sepanjang masa oleh kawan dan lawan baik di dalam maupun luar negeri. Tidak
seperti sekarang, negara menghadapi ancaman seperatisme dalam negeri dan pelecehan
oleh negara tetangga.
Jadi, ketika di masyarakat saat ini muncul
kerinduan kepada Pak Harto melalui gambar stiker atau di meda sosial, itu
sebenarnya bentuk sindiran yang di dalamnya ada protes terhadap rezim
kontemporer yang berkuasa. Ini tidak dapat disalahkan dan kalau semakin hari
kondisi bangsa dan negara semakin menuju negara gagal, kerinduan itu akan
semakin besar dan Pak Harto dengan segala kelebihan dan kekuranganya pada
zamannya akan ”hidup kembali”.
Nah merasa mendapat sedikit pencerahan? Intinya
dalam sejarah, siklus kekuasaa dan kemakmuran suatu Negara adalah 100 tahun,
setiap 100 tahun, tahap perjuangan,pembangunan, kemunduran dan kehancuran
berulang setiap 25 tahun. Di Indonesia, yang belum 100 tahun mengalami
kemerdekaan, sama saja, Orde Lama (saya lebih suka menyebutnya sebagai masa
pemerintahan Soekarno, karena penyebutan Orde ini hanya akal akalan
pemerintahan selanjutnya) bias dianggap sebagai masa perjuangan. 20an tahun itu
sudah cukup bagi kita berjuang dan meraba arah perjuangan kita.
Sementara 32 tahun Soeharto, itu sudah mencakup
dua masa, masa pembangunan dan kemunduran. 20 tahun pertama pembangunan
berlandaskan hutang memang cukup membuat Indonesia ini semakin terlihat wah ,
apalagi bagi rakyat kecil. Kesalahan elementer adalah seperti dimana kekuasaan
itu memabukkan, sesuatu yang sudah digenggam dan tak ikhlas dilepaskan begitu
saja, maka masa selanjutnya, kemunduran mulai dirasakan. Tahun 1990 an mungkin
menjadi sebuah titik balik. Perlahan namun pasti kemerosotan ekonomi bias dirasakan.
Namun lagi lagi, rakyat kecil tertipu dengan segala sesuatu yang dianggap
murah.
Reformasi adalah masa 20 tahun keempat sampai
sekarang. Ini fase kehancuran, wajar saja dengan keadaan sekarang ini. Meskipun
namanya saja reformasi, keadaannya hanya berubah sedikit. Berubah namanya saja,
berubah sistemnya, tetapi tidak memudahkan. Pertarungan politik boleh saja
berlangsung keras, bahkan seperti yang kita alami ketika aksi reformasi 1998,
hingga menelan korban jiwa yang cukup banyak. Tentu, dalam kondisi negara yang
terancam gagal orang mencari alternatif-alternatif pencerahan. Salah satunya
adalah kemunculan kembali kecenderungan keromantisan terhadap masa lampau yang
mungkin dirasakan lebih enak dibandingkan dengan masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar