Jumat, 14 Juni 2013

Pak Harto “piye kabare? (isih) penak jamanku to?”



Aneh juga melihat rakyat zaman sekarang merindukan pemimpin yang dahulu mereka paksa untuk turun setelah 32 tahun berkuasa. Mungkin yang namanya cinta baru terasa jika kehilangan juga berlaku pada rakyak kecil alias wong cilik. Tengok saja, dari sekian banyak stiker Pak Harto yang tertempel, pasti lebih banyak terdapat pada angkutan tua, mulai dari mobil tua, pick up tua, angkot tua dan pokoknya yang tua tua. Bagian belakang dari kendaraan itu pasti terdapat wajah familiar dengan senyum khas, mengangkat jempol dan ada tulisan “ PIYE KABARE? (ISIH) PENAK JAMANKU TO?”. Ah romantisme masa lalu……

Lalu sebenarnya apa sih sebenarnya maksud dari munculnya stiker stiker tersebut? Dikutip dari http://www.solopos.com/2013/05/21/gagasan-rindu-kepada-pak-harto-408471 tulisan dari Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya dan Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret, “Menurut Sigmund Freud, seorang ahli jiwa awal abad ke-20, fenomena seperti itu secara kejiwaan adalah sebuah id di antara ego dan superego.  Orang melakukan sebuah tindakan karena di alam bawah sadar menginginkan kembalinya keromantisan yang menyebabkan seseorang (masyarakat) merasa happy.

Fenomena maraknya stiker bergambar Pak Harto tersebut bagi sebagian masyarakat menjadi simbol protes sosial. Masyarakat protes dengan membuat komparasi antarperiode kekuasaan yang notabene belum tentu kekuasaan pada masa lalu itu juga enak. Tetapi, simbol-simbol protes itu semakin mendapat tempat di hati masyarakat tatkala logika-logika kondisi berbangsa dan bernegara secara kontemporer semakin resisten. Dari hari ke hari resistensi sosial terhadap politik semakin jelas dengan semakin banyaknya warga yang memilih menjadi bagian dari golongan putih (golput)—tak menggunakan hak pilih–pada setiap pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Ketika di setiap pemilihan gubernur atau pilgub (mungkin termasuk Pilgub Jawa Tengah) angka golputnya tinggi, sudah pasti ada resistensi yang tinggi dan hal ini tidak dapat dianggap sebuah masa yang enak jika dibandingkan pada zaman Pak Harto dulu. Konstruksi pemikiran masyarakat yang gandrung Pak Harto dengan memasang gambar berwujud stiker tersebut jelas logika yang berbalik dengan suatu keadaan di era sekarang.

Pada masa Pak Harto soal pilgub tidak serumit saat ini. Pilgub zaman Pak Harto dulu amat sederhana, tidak seperti sekarang ketika setiap pemilihan kepala daerah penuh dengan trik, intrik dan kepalsuan. Hasil pemilihan kepala daerah saat sekarang di samping menghabiskan energi juga kemudian malah melahirkan raja-raja kecil yang merasa lebih berkuasa daripada presiden. Mungkin tingginya angka golput di setiap pilgub di seluruh provinsi di Indonesia menjadi logika pembenar bahwa zaman Pak Harto dulu lebih enak.

Bagi masayarakat yang gandrung masa Pak Harto juga merekonstruksi fakta bahwa tata hubungan bermasyarakat dan berbangsa lebih enak dulu daripada sekarang. Dalam kurun waktu 20 tahun pemerintahan Pak Harto (1978-1998), jarang terjadi keributan antarsuku, antargeng, antarpreman apalagi antarkampung, tawuran pelajar, pembakaran masjid, sampai soal teroris.

Premanisme, anarkisme, brutalisme pada zaman Pak Harto jelas ”digebug” (istilah yang dipakai Pak Harto dulu) dan diproses sekalipun dilakukan secara tertutup. Sedangkan tindakan vigilante (pembangkangan sipil) pasti ditangani secara represif. Pada masa Pak Harto juga ada korupsi. Tetapi, mungkin dipaksa bungkam atau entah sebab yang lain. Yang jelas, korupsi tidak vulgar, tidak terjadi secara masif dan bergerombolan seperti saat ini.

Zaman sekarang justru menjadi lebih enak bagi koruptor karena sekalipun tertangkap tangan masih bisa dengan enak tersenyum dan melambaikan tangan. Vonis pidananya amat ringan, bahkan dengan berbagai dalil koruptor bisa bebas atau setidaknya tidak tidur di penjara. Banyak kaum muda seusia Gayus H Tambunan yang lihai bermain jurus-jurus korupsi. Ukuran enak di zaman Pak Harto tentu soal ekonomi dan kebutuhan sandang. Harga dan bahan-bahan kebutuhan pokok relatif aman, terjamin dan terkendali.

Meskipun penghasilan rata-rata pada masa Pak Harto masih kecil, namun dibandingkan dengan harga-harga masih terjangkau. Kondisi itu terbalik dengan sekarang. Meskipun gaji dan penghasilan rata-rata sudah naik,  ternyata lebih besar lagi kenaikan harga-harga sehingga daya beli rupiah terhadap kebutuhan pokok menjadi lemah.

Pada zaman Pak Harto posisi Indonesia dalam soal hubungan dalam kawasan regional maupun internasional disegani kawan dan lawan. Indonesia saat itu memiliki politisi dan negarawan ulung yang dikenang sepanjang masa oleh kawan dan lawan baik di dalam maupun luar negeri. Tidak seperti sekarang, negara menghadapi ancaman seperatisme dalam negeri dan pelecehan oleh negara tetangga.

Jadi, ketika di masyarakat saat ini muncul kerinduan kepada Pak Harto melalui gambar stiker atau di meda sosial, itu sebenarnya bentuk sindiran yang di dalamnya ada protes terhadap rezim kontemporer yang berkuasa. Ini tidak dapat disalahkan dan kalau semakin hari kondisi bangsa dan negara semakin menuju negara gagal, kerinduan itu akan semakin besar dan Pak Harto dengan segala kelebihan dan kekuranganya pada zamannya akan ”hidup kembali”.

Nah merasa mendapat sedikit pencerahan? Intinya dalam sejarah, siklus kekuasaa dan kemakmuran suatu Negara adalah 100 tahun, setiap 100 tahun, tahap perjuangan,pembangunan, kemunduran dan kehancuran berulang setiap 25 tahun. Di Indonesia, yang belum 100 tahun mengalami kemerdekaan, sama saja, Orde Lama (saya lebih suka menyebutnya sebagai masa pemerintahan Soekarno, karena penyebutan Orde ini hanya akal akalan pemerintahan selanjutnya) bias dianggap sebagai masa perjuangan. 20an tahun itu sudah cukup bagi kita berjuang dan meraba arah perjuangan kita.

Sementara 32 tahun Soeharto, itu sudah mencakup dua masa, masa pembangunan dan kemunduran. 20 tahun pertama pembangunan berlandaskan hutang memang cukup membuat Indonesia ini semakin terlihat wah , apalagi bagi rakyat kecil. Kesalahan elementer adalah seperti dimana kekuasaan itu memabukkan, sesuatu yang sudah digenggam dan tak ikhlas dilepaskan begitu saja, maka masa selanjutnya, kemunduran mulai dirasakan. Tahun 1990 an mungkin menjadi sebuah titik balik. Perlahan namun pasti kemerosotan ekonomi bias dirasakan. Namun lagi lagi, rakyat kecil tertipu dengan segala sesuatu yang dianggap murah.

Reformasi adalah masa 20 tahun keempat sampai sekarang. Ini fase kehancuran, wajar saja dengan keadaan sekarang ini. Meskipun namanya saja reformasi, keadaannya hanya berubah sedikit. Berubah namanya saja, berubah sistemnya, tetapi tidak memudahkan. Pertarungan politik boleh saja berlangsung keras, bahkan seperti yang kita alami ketika aksi reformasi 1998, hingga menelan korban jiwa yang cukup banyak. Tentu, dalam kondisi negara yang terancam gagal orang mencari alternatif-alternatif pencerahan. Salah satunya adalah kemunculan kembali kecenderungan keromantisan terhadap masa lampau yang mungkin dirasakan lebih enak dibandingkan dengan masa kini.

Jadi menurut anda, enakan mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar