Sekolah yang
saya dan Ponti tempati selama satu tahun ke depan baru diresmikan hari kedua
kami berada di Utaseko, yaitu tanggal 19 September 2013 oleh bapak Bupati
Marianus Sae. Rombongan belajar yang ada baru 5 rombel, dengan 3 rombel kelas
VII dan 2 rombel kelas VIII dengan jumlah siswa sekitar 120 an. Guru disekolah
kami berjumlah 12 orang termasuk saya dan Ponti. Maka dengan sangat terheran
heran, hari pertama kami disibukkan dengan persiapan peresmian gedung sekolah,
bukannya perkenalan dan acara basa basi seperti biasa. Jadilah kami dari pagi
berpeluh peluh, memasang papan visi dan misi di ruang tata usaha serta memasang
tirai untuk menutupi papan nama sekolah yang akan diresmikan bapak Bupati.
Singkatnya
setelah berjam jam menunggu, dan ditugaskan kami berdua di pos masing masing
(posisi kami disini jelas, sebagai operator alat elektronik merangkap tukang
foto keliling), acara berjalan lancar. Saya yang menggantikan Ponti untuk
pegang kamera harus mengabadikan momen momen tanpa terlewat satu pun, termasuk
ketika acara ramah tamah dengan bapak bupati. Ada satu momen disini yang tidak
mungkin bisa terjadi di tanah Jawa, adalah ketika saya, tanpa banyak basa basi
didekati bapak bupati dan ditanya oleh beliau disela tugas saya sebagai
fotografer dadakan. Sungguh ramah beliau ini, tak segan untuk menyapa terlebih
dahulu dan memberikan kami semangat untuk satu tahun ke depan.
Acara
selanjutnya adalah pelantikan kepala desa Were III yang baru, kebetulan dua
acara ini sekaligus dihadiri oleh bapak Bupati. Di balai desa, malam sebelumnya
saya dan Ponti sudah melihat adat istiadat masyarakat disini. Dan sekarang di
siang harinya, upacara adata dimulai. Diawali dengan ritual penyembelihan babi,
pesta pun dimulai. Makan besar seluruh desa datang. Bagi kami yang muslim,
karena memang baru awal belum disediakan makanan khusus buat kami. Tak apalah
kami masih bisa makan biarpun dengan lauk ikan (catatan : bagi kami yang
muslim, biasanya ketika pesta adat kami diberi ayam sendiri untuk dipotong
sendiri agar bisa memastikan kehalalannya, jadi biarpun kami sendiri atau
berdua, satu ekor ayam itu mutlak jatah kami).
Dan semakin sore suara masih tak juga berhenti, semboyan pesta orang
Flores : Mari Malamkan Siang dan Siangkan Malam.
Malamnya kami
diajak mama ke rumah bapak Florens, kepala Desa yang baru, ini baru pesta yang
sesungguhnya. Pesta disini bisa mulai siang, sampai malam sampai siang lagi,
sungguh meriah. Saya hitung ada 12 speaker aktif untuk pengeras suara. Musik
asli flores, dangdut house, house music dan music dansa silih berganti
diperdengarkan. Kami semua, tua muda tidak boleh malu, harus turun melantai.
Ada satu lagi tarian khas disini, namanya Jai, kalau jai ini sudah
diperdengarkan, semua orang harus ikut dansa. Gerakannya sederhana, memutari
satu tiang ditengah dalam rombongan besar. Gerakan tangan dan kaki diutamakan.
Benar saja baru satu dua kali berjai, semua keringat keluar semua. Malam itu
kami berdua baru mengerti apa itu pesta yang sesungguhnya. Maka tulisan saya
selanjutnya adalah tentang Buku, pesta (dansa, jai ) dan cinta. Tunggulah!!