Menjadi manusia biasa di masa
yang tidak biasa adalah sebuah kerugian. Apalagi sekarang, saat semua yang
tidak biasa mendapat tempat spesial, meskipun itu negatif. Pramoedya Ananta
Toer, atau Pram, penulis Roman Tetralogi Buru, membuktikannya. Pram dipenjara
18 tahun lamanya, 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun pada masa Orde Lama,
dan 14 tahun lamanya dibawah penguasa Orde Baru. Penjara memang menahan fisik manusia untuk
bergerak bebas, tetapi bukan pikirannya. Dalam tempat kumuh yang disebut
penjara di ujung Indonesia, di Pulau Buru jauh disana, Pram menelurkan
tetralogi Roman yang mengharu biru, Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Bumi Manusia, roman awal
kemunduran Hindia Belanda di abad 20, membawa banyak kegelisahan bagi Minke, si
tokoh utama. Pergeseran masyarakat pribumi dan Belanda menjadi sebuah tulisan
yang menarik. Minke, Priyayi Jawa yang berpendidikan Eropa dipaksa mengalami
sebuah proses pendewasan yang rumit, yang memaksanya berada dalam hubungan
kemasyarakatan yang saling silang, Nyai, Indo, pribumi dan Belanda totok.
Pergumulan itu menimbulkan sebuah pendapat baru yang nantinya bisa menjadi
solusi cerdas dalam kemajuan. Yang bisa memajukan Indonesia adalah orang
Indonesia sendiri, bukan Belanda totok atau bangsa asing. Orang Indonesia
adalah orang yang berkeinginan untuk memajukan tanah Indonesia, terlepas dia
pribumi, Indo bahkan Belanda totok sekalipun.
Kiranya sikap ksatria ini
tercermin dari wejangan Bunda, ibu dari Minke tentang sikap ksatria yang harus
dimiliki Minke. Wisma, wanita, turangga,
kukila dan curiga. Rumah, wanita,
kuda, burung dan keris.
Wisma atau rumah, sebagai perlambang
tempat ksatria bertolak dan tempat dia kembali. Home is where your history begins, rumah adalah tempat sejarah
dimulai.
Wanita adalah lambang kehidupan dan
penghidupan, kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Ksatria tanpa wanita
adalah menyalahi kodratnya sebagai pria. Dia bukan sekedar istri untuk suami,tetapi
juga penghidupan, kehidupan berputar dan berasal.
Turangga bermakna kuda, sebuah alat yang
bisa membawa kita pergi mencari segalanya : ilmu, pengetahuan, kemampuan ,
ketrampilan kebisaan, keahlian dan
kemajuan. Tanpa turangga atau alat, kehidupanmu hanya berputar disekeliling,
tanpa kemajuan.
Kukila adalah burung, bermakna
keindahan, semua yang tak berhubungan dengan penghidupan, tetapi dengan
kepuasan batin pribadi. Tanpa keindahan, orang hanya sebongkah batu tanpa
semangat.
Curiga atau keris, sebagai tanda
kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk memepertahankan empat yang
sebelumnya. Tanpa kesiagaan dan kewaspadaan, wisma, wanita, turangga dan kukila
akan binasa bila mendapat gangguan.
“ Seorang terpelajar
harus juga berlaku adil
sudah sejak dalam
pikiran, apalagi dalam perbuatan “
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer