Sabtu, 06 Juni 2015

Catatan SM3T : Perjalanan jauh ke Bajawa







Kota Bajawa sebagai kota kabupaten Ngada, tentu saja sebagai pusat ekonomi juga. Maka kepergian kesana adalah sebuah perjalanan yang sangat melelahkan sekaligus menjemukan. Perjalanan ke sana, seperti setiap hari jumat, kebetulan hari jumat saya diberi wewenang tidak mengajar untuk sholat jumat, adalah perjalanan 2 jam naik oto, semacam kopada  jalur A, di jam 6 pagi. – oto adalah  sebutan untuk kendaraan motor beroda empat, ada oto bemo, mobil kecil macam angkot atau kopada, oto kayu, truk bak yang diberi tempat duduk di belakang -. Utaseko ke Mataloko, sebagai pusat kecamatan, memakan waktu satu jam naik oto, dan biasanya molor karena oto tidak bisa cepat dan sarat barang bawaan penumpang. Mataloko ke Bajawa bisa memakan waktu 30 atau 45 menit, maka bisa dipastikan 2 jam akan jadi waktu yang harus dihabiskan dengan duduk di oto.
 
Oto dari Utaseko ke Bajawa ada beberapa. Guahirah, yang jadi langganan saya tiap hari Jumat, diawaki om Elu dan Nose, dahulu sebelum ada oto Lawata, Personil Guahirah bergantian, sopir antara om Elu dan om Revan, dan kernet antara Yeris dan Nose. Sekarang dengan adanya Lawata, karena Guahirah dan Lawata satu manajemen istilahnya, maka Yeris jadi sopir di Lawata bergantian dengan om Rivan. Masih ada juga Bavansa dan oto kayu dari Boba, Ngedusuba macam Sehati dan AC Milan. Kebanyakan oto punya jadwal yang sangat pasti. Senin sampai jumat, oto naik ke Bajawa sekitar jam 6 pagi, dan pulang jam 12 atau jam 1 paling lambat, jadi Cuma satu kali rit. Sedang hari Sabtu, di Mataloko ada pasar, jadi oto naik jam 6, jam 9  jam 11, dan turun juga jam 8, jam 10 dan jam 12. Bisanya hari sabtu oto tidak naik sampai Bajawa. Hari minggu, pengaruh ada misa, oto jarang naik, kalaupun naik bisanya jam 11 dan baru turun jam 3 sore. Ongkos oto, seperti kebanyakan, adalah 40 k untuk pulang pergi ke Bajawa, jika tambah dengan barang bawaan, tambah 5k dan menyesuaikan dengan barang bawaan. Barang bawaan disini bervariasi, mulai dari pisang, kelapa, mangga, batang pisang, batang talas, kayu, babi, kambing ayam, beras semen bahkan besi dan papan tripleks, semua diangkut. Pernah pula saya melihat motor yang dinaikkan ke oto. 



Sebagai pelanggan yang baik, setiap hari Jumat, tanpa putus, saya ikut Guahirah naik ke Bajawa, dan biasanya, pulangnya saya selalu jadi penumpang terakhir yang ditunggu tunggu. Pengaruh masjid hanya ada di Bajawa. Sebenarnya di Maumbawa ada, sekitar 30 menit naik sepeda motor, karena tidak ada oto kesana. Maumbawa sebagai daerah pesisir selatan satu satunya yang banyak penduduk muslim, kurang lebih ada satu kampung penduduk asli yang menganut agama islam. Itupun tidak sengaja saya menemukan masjidnya, ketika sedang tugas belanja cari ikan untuk MGMP. Waktu  itu tanpa sadar saya melajukan motor melewati batas kabupaten sampai Nagekeo, karena ketidak tahuan saya, beruntung, jadi menemukan masjid yang lebih dekat dengan tempat tinggal, untuk berjaga jaga jika malas ke kota.


Utaseko adalah daerah pesisir yang panas di selatan pulau Flores. Wilayahnya mirip sekali dengan pantai di Gunungkidul dengan keadaan bergunung gunung dan kering. Sementara Mataloko sebagai kota kecamatan dan Bajawa sebagai kota kabupaten, terletak di dataran tinggi, macam Wonosobo. Jadi kabut seringkali turun diperjalanan ketika hari sedikit sore atau gerimis. Dan begitu lah, rasanya perjalanan ke kota Bajawa diceritakan. Dan mengenai cerita selanjutnya di koloni musafir, akan berkisar pada Bajawa dan orang baik yang ada  di sana.