Memasuki musim TUC dan ujian adalah saat saya mencoba menelaah bagaimana ketahanan tubuh. Bagaimana tidak, saya masih kuat untuk mengajar 10 jam pelajaran full dari jam 7 pagi sampai jam 3.15 sore. Tetapi. . .
Dihadapkan pada kewajiban mengawasi ujian 2 jam yang hanya duduk dan menunggu, tak sampai 15 menit, kantuk menyerang. Sungguh anomali dalam ketahanan tubuh.
Memang jadi guru dan ketahanan tubuh adalah hal yang berbeda urusan, berbahagialah..
Selasa, 14 Februari 2017
Facebook dan akun media sosial
Facebook berkebalikan dari namanya jika diartikan dalam
bahasa Indonesia yang berarti wajah dan buku, adalah media sosial kedua saya
setelah almarhum friendster. Saya
mengenal facebook ketika masih semester awal kuliah. Dimana tugas tugas waktu
itu mengalami revolusi kebudayaan yang sangat besar bagi hidup saya. Masa
sekolah yang identik dengan tulisan
tangan yang aduhai, berganti dengan tugas tugas kuliah dengan model yang baru,
soft file dan hard file. Bersyukur waktu itu, 2008, ungsumnya mesik ketik sudah
berlalu – meskipun ditahun 2012, di Yogyakarta, khususon jurusan dan kampus
saya, kartu bimbingan skripsi harus diketik dengan mesin ketik manual, yang
ajaibnya masih ada rentalannya disekitar jalan Colombo waktu itu, bahkan pernah
masuk portal berita detik, si empunya mesin tik yang super dan luar biasa itu
-. Masih belum akrabnya saya dengan
komputer, dan paling utama memang belum ada komputer atau bahkan laptop – 2008,
laptop hanya dimiliki dosen dan mahasiswa yang excellent dari segi kemampuan
maupun finansial, range harga masih diatas 5 juta pula -, membuat malam malam
syahdu harus dilewati di Puskom ataupun warnet dengan happy hournya.
Cilakanya, PUSKOM pada masa itu adalah sangat ramai dengan
mbak mbak di jam jam yang memang
waktunya untuk mengisi perut bahkan sampai tutupnya gerbang kos kosan jam 10
malam. Akhirnya, voucher PUSKOM sebesar 50ribu untuk maba waktu itu hanya
terpakai 8500 rupiah di semester pertama- belakangan ternyata voucher tersebut
tidak berkurang meskipun dipakai berjam jam, berhari hari, berminggu minggu,
bahkan berbulan dan bertahun, sehingga saldo voucher dari 2009 sampai 2012
ketika lulus, tetap 41.500 rupiah, rezeki memang tak kemana. Maka sahlah
perkenalan dengan facebook, yang menemani malam malam dalam mengerjakan tugas –
termasuk copy paste edit dari wikipedia, salah satu situs yang paling tidak
saya rekomendasikan sekarang-.
Kemudian ada twitter, yang pada awalnya hanya untuk iseng
belaka. Follow akun bola dan berita untuk mengikuti perkembangan saja, tetapi
dasar anak muda, terbawa juga kebiasaan kawan kawan dulu. Kebiasaan komen
berita dengan lucu lucuan, bahkan ece ecean sungguh memenuhi timeline waktu
itu. Puas rasanya, semacam hobi bagi mahasiswa tingkat akhir yang dikejar
skripsi dan ketakutan masa masa kuliah akan berakhir. Dan wassalam juga akun
twitter. Alasan klasiknya lupa pasword dan lupa akun email.
Sekarang, akun facebook masih saya pertahankan, meskipun
keaktifan bisa dihitung dengan kisaran jari. Akun itu saya hubungkan dengan
akun akun lain, yang berguna ketika login, sehingga tidak perlu mengingat
username dan pasword banyak banyak.
Mengapa terlalu
banyak orang yang mempunyai akun media sosial, tetapi malas membaca. Terlalu
banyak orang yang suka share tanpa melihat isinya. Bodoh, memang bodoh. Karena
ibarat lingkaran yang tak bisa dimasuki, pola pikir orang macam itu tertutup.
Tak mau melihat dari sisi lain. Dan rupanya, itu mayoritas orang di negara ini.
Kamis, 09 Februari 2017
Para Priyayi - Rupa rupa pendahulu kita
Priyayi dalam karya Umar Kayam, menampilkan kaum terpelajar, yang tak ubahnya seperti kebanyakan masyarakat Jawa di era kolonial. Sebagian, terdiri dari keturunan bangsawan bangsawan lokal yang mendapat privilige pendidikan sebagai akibat politik etis. Sebagian lagi dari kaum petani yang mendapatkan kemujuran kesempatan sekolah. Tetapi akar budaya keduanya tak hilang begitu saja. Penguasaan bahasa Belanda diimbangi dengan terjaganya budaya Jawa dalam masyarakat priyayi.
Priyayi ini terjebak dalam dua kebudayaan yang mau tidak mau bertentangan. Kemajuan serta modernitas yang dibawa pemerintah kolonial Belanda membawa dampak yang banyak. Yang positif tentu saja munculnya kaum terpelajar. Kaum muda ini, mengenal sekolah tak hanya sebagai sarana melanggengkan kekuasaan, tetapi juga sebagai sarana memperbaiki kehidupan bangsa.
Kaum priyayi dalam dilema. Satu sisi mereka adalah kepanjangan tangan dari gupernemen. Sementara sisi lain, mereka tetap bangsa yang ingin bebas, ingin kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarga sebangsanya.
Priyayi mengalami sikap yang jauh berbeda selepas masa kolonial. Masa kedatangan Jepang menjadi awal. Jepang, tentu tak suka remeh temeh khas Jawa yang dianggap bertele tele. Kemudian di masa revolusi fisik, kecemburuan yang muncul akan kemudahan selama masa kolonial mencapai puncaknya. Apalagi dengan semakin berkembangnya paham sosialis dan komunis. Priyayi seakan tak mendapat tempat lagi. Puncaknya pada masa geger Madiun dan geger 1965. Priyayi yang tak menyesuaikan diri, remuk redam dilibas zaman. Sedangkan mereka yang bertahan, menjadi priyayi yang berbeda lagi. Priyayi model ini masih tetap mepertahankan adat teatpi tak lupa dengan kemajuan zaman. Masyarakat kita, suka tidak suka, dibangun atas dasar masyarakat tradisional. Sehingga melupakan akar budaya sebagai masyarakat yang menjunjung tradisi adalah hal yang mustahil.
Catatan SM3T : Buku, Pesta dan Cinta
Mengajar di sekolah
yang baru dibangun di daerah yang tergolong 3T termasuk susah susah gampang.
Siswa yang ada masih sangat sedikit. Misal di SMP N 6 Golewa, baru ada 5
rombongan belajar, dengan kelas 7 ada 2 kelas, dan kelas 8 ada 3 kelas. Maka
jangan diharapkan seperti sekolah kebanyakan d perkotaan. Dengan personil sebanyak 12 orang termasuk kami, kepala
sekolah dan operator , suasana belajar mengajar menjadi begitu berbeda. Siswa
begitu takut dan menghormati guru. Heran dengan keadaan disini, siswa begitu
antusias dengan apa yang diberikan oleh guru. Telat masuk sedikit saja bisa
dipastikan siswa akan menjemput kita di
ruang guru. Lebih dari itu, mereka menghargai kami sebagai si maha tahu.
Bagian pertama ;
buku
Sesungguhnya
buku adalah jendela dunia, begitu yang sering diperlihatkan dan dikatakan
orang, termasuk dalam berbagai kesempatan. Tapi kata buku disini, saya gunakan
sebagai analogi bagaimana buku bisa begitu berguna bagi siswa kami disini.
Sebagai sekolah yang masih sangat baru, buku pegangan siswa adalah sesuatu yang
sangat langka dalam artian sedikit. Beberapa sudah memegang buku, tetapi banyak
yang belum punya buku. Lebih lucu lagi, ketika kami yang disini, sebagai guru
IPS, diserahkan juga tugas untuk mengajar TIKOM, sementara listrik saja sekolah
kami tidak ada. Di Utaseko, listrik hanya menyala pada malam hari, mulai habis
maghrib sampai pagi hari jam 6, pengecualian pada hari minggu, KADANG siang
juga menyala, sekali lagi KADANG, dan untuk sekolah kami, menggunakan tenaga
generator yang sering ngadat, dan hanya dipakai jika dan hanya jika ada
keperluan mendesak, misal rapat atau MGMP disekolah, untuk keperluan lain
misalnya print dokumen, sebisa mungkin kami berlari membawa printer ke kantor
desa yang teraliri listrik seutuhnya ( Listrik desa WERE III bukan dari PLN,
tetapi dari PLTA yang dialirkan dari saluran air ke generator pembangkit, maka
arus listrik naik turun menyesuaikan dengan debit air)
Maka
bertebaran tingkah polah anak anak yang lucu lucu ketika berhadapan dengan
teknologi. Terutama anak kelas satu yang begitu antusias dan heran setengah
mati ketika bertemu dengan laptop. Bahkan, beberapa dengan jiwa seni yang cukup
tinggi, menggambar laptop lengkap dengan keyboard di buku tulis. Beberapa dari
mereka cukup membuat kagum, bukan karena hasil gambarnya begitu terlihat nyata
dan mirip, tapi karena ketelatenan mereka. Andai saja, listrik sudah bisa
teraliri sepenuhnya dan sekolah kami mendapat bantuan komputer, beberapa saja
10 biji saja, maka akan lebih mudah mengajar satu kelas daripada harus
menggunakan satu laptop yang dipakai
bergantian satu kelas.
Maka
mengajar IPS dan TIKOM disini seperti sebuah pengalaman yang belum pernah
dirasakan. Anggap saja, semua pengalaman yang didapat di Jawa, itu sudah sama
sekali berbeda dengan apa yang ada disini. Lepas semua egomu akan IP tinggi,
idealisme dan semua kemudahan dalam mengajar, gantilah dengan kerendahan hati
memahami keterbatasan yang ada disini.
Bagian kedua ;
Pesta
Pesta bagi orang Bajawa adalah segalanya.
Bahkan beberapa selentingan saya dengar, gengsi orang Bajawa ada di pesta.
Beberapa anekdot lucu antaranya “Ketika manusia pesta, babi dan anjing yang
mati, ketika manusia mati, babi dan anjing ikut mati”, “ Mari kita siangkan
malam dan malamkan siang” . Dua contoh diatas adalah bagaimana pesta menjadi
sebuah kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Bahkan ibu bidan
di Utaseko, sempat berujar pada saya, “oma opa disini kalau diajak senam lansia
tidak pernah datang, tetapi ketika pesta, selalu datang”. Dan saya sudah
membuktikan, di pesta, tua tidak menjadi halangan untuk turun melantai, dan ada
waktu itu, seorang oma berdansa dengan wig warna putih, jaket ngejreng dan
pakai helm, iya pakai helm, fashion pesta adalah segalanya, maka necisnya
mereka akan terlihat disini. Sepanjang 4 bulan disini, sudah banyak pesta yang
saya hadiri, mulai dari pesta pelantikan kepala desa, pesta sambut baru, pesta
pernikahan dan pesta emas seorang Fater (perayaan seorang pastur yang telah 50 tahun melayani umat).
Pesta
juga berarti ajakan untuk turun
bergoyang yang tidak bisa ditahan. Mulai dari lagu dangdut, lagu daerah, house
music – mereka disini menyebutnya musik DJ – dan lagu dansa tahun 70 – 80 an.
Maka semua selera musik tertampung sudah, dan seperti ungkapan mari siangkan
malam dan malamkan siang, pesta dimulai siang hari dan baru selesai pagi hari
selanjutnya. Sepanjang malam, kami biasanya datang malam hari sekitar habis
isya, dan baru pulang jam 11 atau 12 malam, itupun dengan berat hati karena
biasanya jam segitu kelelahan dan kantuk sudah tak mampu ditahan. Dan yang
namanya pesta adalah saat dimana semua penduduk berkumpul, maka tak heran,
segala tingkah polah, termasuk goyangan yang aneh dan fenomenal akan selalu diingat.
Semisal, goyang mundur mundur ala jaipong yang atau goyang jempol ala aparat
yang saya lakukan di pesta pertama – pesta pelantikan kepala desa - di bulan
september, bahkan selalu diingat oleh mama mama disini.
Bulan lalu ketika naik oto hendak ke kota Bajawa untuk Jumatan, mama tina, yang tinggal di sebelah atas, masih juga mengomentari masalah joged itu yang terjadi berbulan lampau, dan cukup membuat saya malu. Dan satu lagi ketika pesta pernikahan di Were, joget sewaktu musik ajeb ajeb mampu membuat saya dikira sering dugem di Jogja, itu sudah. . .
Bulan lalu ketika naik oto hendak ke kota Bajawa untuk Jumatan, mama tina, yang tinggal di sebelah atas, masih juga mengomentari masalah joged itu yang terjadi berbulan lampau, dan cukup membuat saya malu. Dan satu lagi ketika pesta pernikahan di Were, joget sewaktu musik ajeb ajeb mampu membuat saya dikira sering dugem di Jogja, itu sudah. . .
Bicara
soal cinta, bicara soal hubungan dua orang berlainan jenis? Ah menurut saya
tidak juga. Saya disini sedang berbicara tentang kasih sayang, tentang
pengertian cinta yang sesungguhnya, tentang semua orang yang begitu baik kepada
kami disini, ditempat yang asing yang belum pernah terbayangkan akan kami
datangi.
Orang
baik pertama, adalah keluarga mama kepala sekolah kami, mama Kristina Ninu dan
papa Robertus Selasa. Kedatangan kami pertama di tanah Flores, mendapat
sambutan yang sangat meriah. Kami dianggap bagai anak sendiri, disitu kami
diperlakukan seperti anak sendiri. Setiap hari sabtu dan minggu, kalau tidak
sibuk, kami menyempatkan pergi dan menginap disana, dan baru turun ke sekolah
hari senin. Dikeluarga ini termasuk ada dua anak kandung mama papa yang belum
sekalipun kami lihat, Madel dan Asni, keduanya sedang kuliah di Kupang,
kemudian Hermas, keponakan papa asal Manggarai yang ikut sekolah disana –
Hermas masih SMP - , om Eman, adik mama, sopir oto mama kemana mana, dengan
gaya menyetir yang setara dengan Sebastian Loeb, melibas semua jalan antara
Bajawa, Were dan Utaseko dengan gesit bagai naik AE 86, dan juga banyak lagi
seperti om, tante, oma dan keponakan keponakan lain.
Keluarga
kedua adalah keluarga kami di sekolah, guru guru dan murid disini. Mama Delfin,
mama eti, mama ati, kak onda, kak rensi, pak paul, kak erni, pak nus dan pak
marus. Semua yang semula asing dan
membingungkan jadi terasa lebih mudah disini. Kami tinggal di rumah kos milik
opa mikel, opa terkaya mungkin di Utaseko, melihat dari luasnya tanah yang
dimiliki. Bangunan sekolah, rumah dan gereja semuanya dulunya tanah milik opa
mikel. Dan kami cukup membayar kos 100k sebulan untuk satu orang. Masih ada
tetangga tetangga kami yang lain, om eman sebelah rumah, majun, oppa di depan
rumah, ada juga anak anak sekolah macam beri, valen, simon, rano, valen dan
enus dan banyak lagi.
Keluarga
ketiga jelas rekan rekan SM3T disini. Digolewa selatan, dengan saya sebagai
koordinator kecamatan, ada 6 personil
termasuk saya, ada ponti yang satu rumah dengan saya, anggi dan dyah di SMP N 2
Golewa – tempatnya di Boba -, Iga dan Intan di SDK Ngedusuba – yang paling jauh
diantara kami semua. Kalau ada yang punya peta, bolehlah dibuka peta Flores,
dibagian bawah ada tempat Boba, itulah tempat teman kami, jarak 20 menit dari
rumah kami, sekitar beberapa mili ke kanan atau kira kira sekitar 5 km dengan
jalan yang berliku dan naik turun tebing di pinggir pantai. Sedangkan
Ngedusuba, sekitar beberapa mili sebelah kiri Boba, sekitar 20 menit juga dari
Boba, tentu dengan keadaan yang sama saja. Jadi kami berenam satu jalur dengan
jarak bervariasi antara satu sampai satu setengah jam. Ada lagi Aziz, Rizkita
dan pak Arif, rekan di penempatan kecamatan Golewa, dan juga aziz ini sering
bertemu kami, karena aziz ini tinggal di tempat mama kris, yang jadi mama
kepala sekolah kami.
Rasa Sebuah Perjalanan
Sebuah jarak itu terkadang relatif, relatif karena
tergantung bagaimana orang yang menempuhnya itu merasakannya. Jarak puluhan
kilometer yang ditempuh secara berulang ulang, setiap hari, tentu rasanya akan
berbeda dengan jarak yang baru pertama kali dilalui. Kebiasaan dan suasana hati
juga merupakan hal yang berpengaruh. Terlepas dari semua itu, jarak adalah
sebuah angka yang menghubungkan, bukan dalam artian memisahkan dua tempat yang
berbeda.
Sebuah rasa yang sangat berbeda saya jalani disini. Tentang
arti dari sebuah jarak antara dua tempat. Tempat tinggal saya, berdasarkan
hitung hitungan ala google maps, ternyata hanya berjarak sekitar 37 km dari
kota Bajawa, dengan asumsi waktu perjalanan sekitar 51 menit. Tetapi dengan menggunakan asumsi waktu perjalanan
dengan kendaraan umum, dalam hal ini oto bemo semacam Guahirah dan Lawata,
perjalanan itu bisa menjadi hampir 2 Jam. Jalanan yang naik mendaki menuju
Bajawa dari Utaseko dan penuh belokan ini jadi pertimbangan selain dengan
status mobil sebagai kendaraan angkutan yang harus berhenti mencari penumpang.
Dan percayalah bahwa,
dulu ketika masih harus menempuh 2 jam tiap hari Jumat untuk berangkat kekota
jam 6 pagi, rasanya berbeda dengan sekarang ketika menggunakan sepeda motor.
Waktu 1 jam lebih sedikit yang terpakai, seakan seperti perjalanan menuju ujung
Flores, dengan sebuah keinginan agar tidak lekas sampai tujuan. Entah mengapa,
menikmati perjalanan disini, seperti sebuah kenikmatan tersendiri. Asumsi saya,
jarak 37 kilometer itu hanya hitung hitungan satelit, tidak melihat
pertimbangan kondisi alam disini, dan itu pula, yang membuat rasa sebuah
perjalanan, berbeda bagi mereka yang menempuhnya.
Langganan:
Postingan (Atom)