Facebook berkebalikan dari namanya jika diartikan dalam
bahasa Indonesia yang berarti wajah dan buku, adalah media sosial kedua saya
setelah almarhum friendster. Saya
mengenal facebook ketika masih semester awal kuliah. Dimana tugas tugas waktu
itu mengalami revolusi kebudayaan yang sangat besar bagi hidup saya. Masa
sekolah yang identik dengan tulisan
tangan yang aduhai, berganti dengan tugas tugas kuliah dengan model yang baru,
soft file dan hard file. Bersyukur waktu itu, 2008, ungsumnya mesik ketik sudah
berlalu – meskipun ditahun 2012, di Yogyakarta, khususon jurusan dan kampus
saya, kartu bimbingan skripsi harus diketik dengan mesin ketik manual, yang
ajaibnya masih ada rentalannya disekitar jalan Colombo waktu itu, bahkan pernah
masuk portal berita detik, si empunya mesin tik yang super dan luar biasa itu
-. Masih belum akrabnya saya dengan
komputer, dan paling utama memang belum ada komputer atau bahkan laptop – 2008,
laptop hanya dimiliki dosen dan mahasiswa yang excellent dari segi kemampuan
maupun finansial, range harga masih diatas 5 juta pula -, membuat malam malam
syahdu harus dilewati di Puskom ataupun warnet dengan happy hournya.
Cilakanya, PUSKOM pada masa itu adalah sangat ramai dengan
mbak mbak di jam jam yang memang
waktunya untuk mengisi perut bahkan sampai tutupnya gerbang kos kosan jam 10
malam. Akhirnya, voucher PUSKOM sebesar 50ribu untuk maba waktu itu hanya
terpakai 8500 rupiah di semester pertama- belakangan ternyata voucher tersebut
tidak berkurang meskipun dipakai berjam jam, berhari hari, berminggu minggu,
bahkan berbulan dan bertahun, sehingga saldo voucher dari 2009 sampai 2012
ketika lulus, tetap 41.500 rupiah, rezeki memang tak kemana. Maka sahlah
perkenalan dengan facebook, yang menemani malam malam dalam mengerjakan tugas –
termasuk copy paste edit dari wikipedia, salah satu situs yang paling tidak
saya rekomendasikan sekarang-.
Kemudian ada twitter, yang pada awalnya hanya untuk iseng
belaka. Follow akun bola dan berita untuk mengikuti perkembangan saja, tetapi
dasar anak muda, terbawa juga kebiasaan kawan kawan dulu. Kebiasaan komen
berita dengan lucu lucuan, bahkan ece ecean sungguh memenuhi timeline waktu
itu. Puas rasanya, semacam hobi bagi mahasiswa tingkat akhir yang dikejar
skripsi dan ketakutan masa masa kuliah akan berakhir. Dan wassalam juga akun
twitter. Alasan klasiknya lupa pasword dan lupa akun email.
Sekarang, akun facebook masih saya pertahankan, meskipun
keaktifan bisa dihitung dengan kisaran jari. Akun itu saya hubungkan dengan
akun akun lain, yang berguna ketika login, sehingga tidak perlu mengingat
username dan pasword banyak banyak.
Mengapa terlalu
banyak orang yang mempunyai akun media sosial, tetapi malas membaca. Terlalu
banyak orang yang suka share tanpa melihat isinya. Bodoh, memang bodoh. Karena
ibarat lingkaran yang tak bisa dimasuki, pola pikir orang macam itu tertutup.
Tak mau melihat dari sisi lain. Dan rupanya, itu mayoritas orang di negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar