Kamis, 09 Februari 2017

Para Priyayi - Rupa rupa pendahulu kita

Priyayi dalam karya Umar Kayam, menampilkan kaum terpelajar, yang tak ubahnya seperti kebanyakan masyarakat Jawa di era kolonial. Sebagian, terdiri dari keturunan bangsawan bangsawan lokal yang mendapat privilige pendidikan sebagai akibat politik etis. Sebagian lagi dari kaum petani yang mendapatkan kemujuran kesempatan sekolah. Tetapi akar budaya keduanya tak hilang begitu saja. Penguasaan bahasa Belanda diimbangi dengan terjaganya budaya Jawa dalam masyarakat priyayi.
Priyayi ini terjebak dalam dua kebudayaan yang mau tidak mau bertentangan. Kemajuan serta modernitas yang dibawa pemerintah kolonial Belanda membawa dampak yang banyak. Yang positif tentu saja munculnya kaum terpelajar. Kaum muda ini, mengenal sekolah tak hanya sebagai sarana melanggengkan kekuasaan, tetapi juga sebagai sarana memperbaiki kehidupan bangsa. 
Kaum priyayi dalam dilema. Satu sisi mereka adalah kepanjangan tangan dari gupernemen. Sementara sisi lain, mereka tetap bangsa yang ingin bebas, ingin kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarga sebangsanya. 
Priyayi mengalami sikap yang jauh berbeda selepas masa kolonial. Masa kedatangan Jepang menjadi awal. Jepang, tentu tak suka remeh temeh khas Jawa yang dianggap bertele tele. Kemudian di masa revolusi fisik, kecemburuan yang muncul akan kemudahan selama masa kolonial mencapai puncaknya. Apalagi dengan semakin berkembangnya paham sosialis dan komunis. Priyayi seakan tak mendapat tempat lagi. Puncaknya pada masa geger Madiun dan geger 1965. Priyayi yang tak menyesuaikan diri, remuk redam dilibas zaman. Sedangkan mereka yang bertahan, menjadi priyayi yang berbeda lagi. Priyayi model ini masih tetap mepertahankan adat teatpi tak lupa dengan kemajuan zaman. Masyarakat kita, suka tidak suka, dibangun atas dasar masyarakat tradisional. Sehingga melupakan akar budaya sebagai masyarakat yang menjunjung tradisi adalah hal yang mustahil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar