Jumat, 13 Januari 2012

MUSLIM PATTANI, MINORITAS DI NEGERI GAJAH PUTIH

Secara historis Pattani yang terletak di selatan Thailand mungkin pernah menjadi wilayah nusantara pada zaman Sriwijaya ataupun Majapahit. Secara faktor sosial budaya, Pattani lebih condong ke arah melayu mengingat selain kesamaan bahasa dan budaya, masyarakat Pattani juga kebanyakan Muslim seperti penduduk Indonesia dan Malaysia. Ini kontras dengan kebanyakan warga Thailand yang menganut agama Budha sebagai agama negara. Suasana Pattani pun berbeda, budaya muslim begitu terasa. Kaum wanita mengenakan jilbab, sementara yang laki laku memakai kopiah putih dan memakai sarung. Tua muda berseliweran dengan berjalan kaki, naik motor tanpa helm, ataupun dengan angkutan umum. Penduduknya lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Melayu ketimbang bahasa Thai yang terdengar sengau. Namun, bahasa Melayu Pattani terdengar berbeda dibandingkan dengan Melayu serumpun di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Perjalanan masyarakat Pattani sangatlah jauh berbeda dengan masyarakat Thailand kebanyakan. Pada mulanya Pattani adalah sebuah kerajaan Islam. Pada tahun 1457, daerah Pattani berpenduduk mayoritas Melayu Muslim. Mengutip buku Thailand 2007 yang diterbitkan pemerintah setempat, Provinsi Pattani memiliki penduduk mayoritas muslim. Bersama dengan Provinsi Songkhla, Yala, dan Narathiwat, keempatnya dijuluki sebagai Pattani Darussalam yang berarti gabungan dari empat provinsi mayoritas muslim di selatan Thailand .
Keadaan mulai berubah ketika Kerajaan Siam ( Thailand ) pada 1875 datang dan menguasai Pattani. Perkembangan selanjutnya ketika Inggris datang dan menguasai Semenanjung Malaka dan ini membuat sebuah perjanjian tentang pembagian kekuasaan. Wilayah Pattani tetap dikuasai Thailand, sedangkan Perlis dan daerah yang menjadi negara Malaysia sekarang dikuasai Inggris. Pattani yang secara etnis dan budaya berbeda dengan kebanyakan penduduk Thailand menjadi masalah tersendiri. Pada awalnya, meskipun terjadi pertentangan, tidak sampai membesar seperti sekarang ini. Thailand pada perkembangannya memberikan banyak diskriminasi kepada penduduk Muslim Pattani. Akibatnya tidak sedikit gelombang protes dan perlawanan kepada Pemerintah Thailand untuk menuntut perbaiakan dan persamaan hak bahkan untuk mendapatkan kemerdekaan.
Diskriminasi ini berwujud pada ketidak adilan dalam pembangunan dan pemerataan kemakmuran bagi masyarakat Pattani. Masyarakat Muslim Pattani sering diperlakukan tidak adil dalam berbagai bidang kehidupan. Pembangunan di Pattani tidaklah seperti wilayah Thailand lain. Keberadaan masyarakat yang berbeda membuat Thailand seperti setengah hati dalam menghidupi masyarakat Pattani. Bahkan secara eksplisit, masyarakat Pattani dibelenggu kebebasannya khususnya dengan pemberlakuan Undang Undang yang silih berganti semakin menambah penderitaan masyarakat Pattani, yaitu (1) Darurat Militer, (2) Darurat Sipil, dan (3) Undang-Undang Terorisme.
Perlawanan masyarakat Pattani dalam menuntut hak mereka memang baru berkembang setelah periode 90an. Masuknya gerakan fundamental yang membawa perjuangan menjadi lebih modern dan terorganisir. Akan tetapi perlu diingat peranan para ulama dan kaum terpelajar dalam perjuangan ini begitu penting. Ulama menjadikan pesantren sebagai basis penggemblengan akidah dan akhlaq kaum muda , yang menjadi dasar perjuangan muslim Pattani. Akibatnya bisa ditebak, dengan pembatasan akan kebebasan bagi masyarakat Pattani, malah menjadi penyemangat bagi mereka untuk maju. Keinginan untuk memiliki sebuah pemerintahan yang mengakomodir kepentingan kaum Muslim Pattani  menjadi sebuah masalah tersendiri bagi pemerintahan yang melabeli perlawanan Muslim Pattani dengan sebutan “ teroris “. Perkembangannya konflik saat ini membawa masyarakat Pattani pada perjuangan tanpa henti dengan dimotori para ulama.Ulama Pattani pun menjadi semacam rebutan bagi pemerintah Thailand untuk mencari simpati dan dukungan. Sehingga dalam golongan ulama Pattani sendiri terbagi bagi menjadi 3 kelompok yaitu yang mendukung perjuangan, mendukung pemerintah Thailand dan yang berada diantara keduanya.
Ulama yang pertama adalah ulama yang berjuang langsung mengangkat senjata. Di siang hari, mereka berprofesi sebagai pendidik, pengacara, pebisnis atau bahkan pengasuh pondok pesantren sekalipun. Namun pada malam hari mereka menenteng senjata dan terjun langsung ke medan pertempuran. Ciri-ciri gerakan ini adalah, mereka menitikberatkan pada doktrin yang mengandung pokok pokok perjuangan jihad. Mereka juga menolak pembangunan atau rencana pembangunan dari pemerintah Thailand yang mereka anggap sebagai kepanjangan dari bangsa Barat. Bagi mereka nasib muslim Pattani harus mereka perjuangkan sendiri dan bukan bergantung pada pemerintah Thailand.
Ulama yang kedua adalah ulama yang pro terhadap pemerintah Thailand. Pada dasarnya Thailand tidak membatasi kebebasan penduduknya dalam beragama, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya ada berbagai ketidak adilan yang diterima kaum muslim di Thailand selatan. Ini bisa diakibatkan dengan tekanan dari berbagai pihak terutama kalangan politisi yang pro barat. Kelompok ulama yang merasa tidak mendapat tentangan dari pemerintah menjadi pendukung dari pemerintah Thailand. Mereka menjadi corong pemerintah dalam kebijakannya terkait kawasan Pattani. Pendirian mereka, Islam mengajarkan untuk menjunjung tinggi pemimpin suatu negeri, meskipun itu berbeda keyakinan, sehingga menghiondari konflik dengan pemerintah.
Sedangkan tipe yang ketiga adalah ulama yang menentang sesuatu yang dianggap berlebihan kepada kaum Muslim Pattani, tetapi bila ada kebijakan yang dirasa cukup menguntungkan bagi kepentingan bersama mereka akan menjadi pendukung dari pemerintah Thailand. Sebenarnya dalam perjuangannya ulama ulama di Pattani dilakukan dengan sembunyi sembunyi, mengingat banyaknya militer Thailand yang dikirim ke kawasan Pattani. Kawasan Pattani seolah olah menjadi daerah peperangan mengingat banyaknya personil militer yang dikerahkan. Bahkan di tiap jalan jalan utama selalu dipenuhi dengan pos pos penjagaan yang memeriksa setiap kendaraan yang melintas.
Meskipun secara umum situasi Pattani tampak tenang, tetapi seakan menjadi sebuah bom waktu yang siap meledakkan potensi konflik terbuka setiap saat. Masyarakat Pattani yang hidup dalam ketakutan ( mirip suasana Aceh yang agamis pada masa Daerah Operasi Militer ) oleh pengawasan dari militer Thailand. Kehidupan pun berjalan seperti penuh dengan kewaspadaan akan terjadi suatu peperangan. Diperlukan suatau dukungan bagi kedua pihak untuk mendapatkan apa yang selama ini menjadi tujuan sehingga membawa keadilan bagi kedua pihak yang bertikai.


Sumber terkait :
Majalah Sabili no 21 , 7 Mei 2009 “Hancurnya Pondok Kami” oleh Mahmudah Ahmadiah
Tempo no 39, 2 Januari 2008, “ Muslim Pattani, Sebuah Perjuangan” oleh Eko Setiawan
Arrahmah Media, 15 Oktober 2008 “ Ulama dalam Perjuangan Muslim Pattani”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar