Minggu, 09 Juni 2013

Jawa Cina dan sedikit cerita di Purworejo



Masa Mataram Islam, Pra Perjanjian Giyanti 21 Februari 1775, Bagelen adalah daerah antara sungai Bogowonto sampai sungai Donan/ Cingcinguling di perbukitan Karangbolong. Masa Sultan Agung, Bagelen termasuk kedalam wilayah Negaraagung dan terbagi menjadi dua wilayah, Sewu dan Numbak Anyar. Sewu=wilayah Bagelen antaraSungai Bogowonto dan Sungai Donan berjumlah 6000 cacah. Numbak anyar= wilayah Bagelen antara sungai Bogowonto dan Sungai Progo berjumlah 6000 cacah. Purworejo digunakan sebagai pengganti dari Bagelen, agar kita lebih mudah membayangkan situasinya sekarang.

Pembauran masyarakat Tionghoa Jawa sudah terjadi sejak  dahulu kala diberbagai wilayah Indonesia, termasuk di  Purworejo. Dalam berbagai segi pembauran ini membawa sebuah budaya yang baru dengan pola fisik yang begitu membaur. Sebagai contoh masyakat Tionghoa di Thailand, Vietnam dan Filipina, ciri fisik masyarakat Tionghoa sudah begitu membaur dengan penduduk asli. Masyarakat Jawa sejak dulu hidup berdampingan dengan warga Tionghoa di pedesaan sekalipun, termasuk di Purworejo. Zaman kerajaan Mataram Islam, tak sulit ditemukan komunitas Tionghoa di pedesaan Jawa.

Sebagai contoh, sebelum pecah perang Diponegoro 1825-1830, Jana atau di Jono, kecamatan Bayan adalah pusat tenun masyarakat Tionghoa. Jana disebutkan sebagai sebuah tempat penghasil tekstil tenun terbaik dari masyarakat Tionghoa di Purworejo. Jana disebutkan memiliki sebuah benteng yang melindungi komunitas Tionghoa yang tinggal disana dari gangguan penjahat. Sebagai contoh lain lagi, Kiyangkongrejo, kecamatan  Kutoarjo, disebut berasal dari nama saudagar Tionghoa, Kiau An Koang yang tinggal disana. Semawung juga disebut pernah dipimpin oleh lurah Tionghoa yang bernama Siu Mei Wong, dari situlah nama Semawung berasal.. Tungtungpait  di selatan Kutoarjo juga disebut berasal dari bahasa Tionghoa yaitu tong tong pay yang artinya menyerah. Disitu rombongan perampok ditangkap dan menyerah kepada para pedagang Tionghoa yang menyatukan kekuatan.

Titik balik dari keberadaan masyarakat Tionghoa di pedesaan Jawa adalah ketika pasca Perang Diponegoro. Masyarakat Tionghoa mulai menghindari pedesaan dan berpindah ke daerah yang lebih dekat dengan kota agar lebih aman. Jadi, kalau memang dari dahulu sudah membaur, wajar kalau sekarang banyak wilayah di Purworejo terutama di kota yang memiliki banyak warga Tionghoa. Wajar juga kalau sekarang kita sering menemui orang Jawa bermata sipit dan berkulit kuning, karena mungkin dahulu merupakan keturunan Tionghoa . Intinya, berbeda beda karena budaya, adalah sebuah anugrah, yang menjadikan kita lebih memanusiakan manusia.

Re: baca buku Peter Carey “Kuasa Ramalan” dan Atas Danusubroto “RAA Cokronegoro 1”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar