Masa Mataram
Islam, Pra Perjanjian Giyanti 21 Februari 1775, Bagelen adalah daerah antara
sungai Bogowonto sampai sungai Donan/ Cingcinguling di perbukitan Karangbolong.
Masa Sultan Agung, Bagelen termasuk kedalam wilayah Negaraagung dan terbagi
menjadi dua wilayah, Sewu dan Numbak Anyar. Sewu=wilayah Bagelen antaraSungai
Bogowonto dan Sungai Donan berjumlah 6000 cacah. Numbak anyar= wilayah Bagelen
antara sungai Bogowonto dan Sungai Progo berjumlah 6000 cacah. Purworejo
digunakan sebagai pengganti dari Bagelen, agar kita lebih mudah membayangkan
situasinya sekarang.
Pembauran
masyarakat Tionghoa Jawa sudah terjadi sejak
dahulu kala diberbagai wilayah Indonesia, termasuk di Purworejo. Dalam berbagai segi pembauran ini
membawa sebuah budaya yang baru dengan pola fisik yang begitu membaur. Sebagai
contoh masyakat Tionghoa di Thailand, Vietnam dan Filipina, ciri fisik
masyarakat Tionghoa sudah begitu membaur dengan penduduk asli. Masyarakat Jawa
sejak dulu hidup berdampingan dengan warga Tionghoa di pedesaan sekalipun,
termasuk di Purworejo. Zaman kerajaan Mataram Islam, tak sulit ditemukan
komunitas Tionghoa di pedesaan Jawa.
Sebagai contoh,
sebelum pecah perang Diponegoro 1825-1830, Jana atau di Jono, kecamatan Bayan
adalah pusat tenun masyarakat Tionghoa. Jana disebutkan sebagai sebuah tempat
penghasil tekstil tenun terbaik dari masyarakat Tionghoa di Purworejo. Jana
disebutkan memiliki sebuah benteng yang melindungi komunitas Tionghoa yang
tinggal disana dari gangguan penjahat. Sebagai contoh lain lagi, Kiyangkongrejo,
kecamatan Kutoarjo, disebut berasal dari
nama saudagar Tionghoa, Kiau An Koang yang tinggal disana. Semawung juga
disebut pernah dipimpin oleh lurah Tionghoa yang bernama Siu Mei Wong,
dari situlah nama Semawung berasal.. Tungtungpait di selatan Kutoarjo juga disebut berasal dari
bahasa Tionghoa yaitu tong tong pay yang artinya menyerah. Disitu rombongan
perampok ditangkap dan menyerah kepada para pedagang Tionghoa yang menyatukan
kekuatan.
Titik balik dari
keberadaan masyarakat Tionghoa di pedesaan Jawa adalah ketika pasca Perang Diponegoro.
Masyarakat Tionghoa mulai menghindari pedesaan dan berpindah ke daerah yang
lebih dekat dengan kota agar lebih aman. Jadi, kalau memang dari dahulu sudah
membaur, wajar kalau sekarang banyak wilayah di Purworejo terutama di kota yang
memiliki banyak warga Tionghoa. Wajar juga kalau sekarang kita sering menemui
orang Jawa bermata sipit dan berkulit kuning, karena mungkin dahulu merupakan
keturunan Tionghoa . Intinya, berbeda beda karena budaya, adalah sebuah
anugrah, yang menjadikan kita lebih memanusiakan manusia.
Re: baca buku
Peter Carey “Kuasa Ramalan” dan Atas Danusubroto “RAA Cokronegoro 1”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar